Seabad KH. Wahid Hasyim

Peletak Dasar Islam Kebangsaan di Indonesia

Biografi KH. Wahid Hasyim
KH. Wahid Hasyim
Tahun 1950-an, ketika menuntut ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, mantan Menteri Agama Republik Indonesia Tolchah Hasan kaget mendapat pelajaran bahasa Perancis. Menurut Tolchah, keterkejutannya bertambah saat mengetahui sebagian guru yang mengajarinya ilmu pengetahuan umum beragama Kristen dan Katolik.

”Saya kira, pada zamannya ada yang seperti itu sesuatu yang langka. Guru ilmu alam saya orang Kristen. Saya di (madrasah) Aliyah A, yang dapat pelajaran bahasa Arab, Inggris, dan Perancis. Meski sekarang saya enggak bisa lagi ngomong dengan bahasa Perancis,” ujar Tolchah terkekeh, saat menceritakan pengalamannya menuntut ilmu di Tebuireng yang ketika itu diasuh KH Abdul Wahid Hasjim, pada acara bedah buku Satu Abad KH Abdul Wahid Hasjim karya Aboebakar Atjeh, Sabtu (30/4) di Jakarta.

Wahid, anak kelima pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratusyekh Hasyim Asy’ari dengan Nafiqah, dianggap menjadi peletak dasar revolusi pendidikan di pesantren. Revolusi itu mulai dilakukan sepulang Wahid dari Mekkah, akhir tahun 1933. Menukil buku itu, Wahid yang ketika itu baru berusia 19 tahun mulai memimpin dan mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan ayahandanya.

Di buku ditulis, hasrat Wahid mengadakan revolusi pendidikan di pesantren mulai tampak. Cara kuno yang hanya terdiri dari mendengar dan menggantungkan makna pada kitab- kitab fikih Islam sudah mulai ditinjau kembali oleh Wahid. Niatnya merevolusi dunia pendidikan di pesantren didasari keinginan agar para santri tidak lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat yang belajar pengetahuan Barat ketika itu. Kekurangan santri ketika itu hanya ilmu pengetahuan umum.

Awalnya hanya empat santri yang dididik menggabungkan ilmu agama dengan pengetahuan umum. Baru dua tahun kemudian, setelah melihat keberhasilan dua orang di antara empat santri pertamanya, Wahid mulai mendirikan Madrasah Nizamiyah, yang memasukkan ilmu pengetahuan umum yang masih terasa asing dalam tradisi pesantren.

Aboebakar dalam bukunya menulis, Wahid berpegang pada salah satu hadis, barang siapa mengetahui bahasa sesuatu golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan itu. Hingga suatu ketika Wahid melihat anak-anak didiknya, ia tersenyum sambil berkata, ”Mudah-mudahan kamu sekalian di masa yang akan datang menjadi calon kiai intelek, yang dapat mengangkat derajat golonganmu.” (halaman 172).

Kebesaran Wahid tak hanya sebagai peletak dasar revolusi pendidikan di pesantren. Tak banyak yang tahu bahwa Wahid adalah tokoh sentral berdirinya Indonesia sebagai negara kebangsaan. ”Salah seorang penulis Arab malah menulis KH Wahid Hasjim adalah peletak dasar kemerdekaan Indonesia,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj.

Melacak jejak dan warisan Wahid tak cukup hanya mengetahui kiprah ayah mantan Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid ini di dunia pesantren. Sebelum kemerdekaan, Wahid menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Dari kacamata Direktur Reform Institute Yudi Latif, Wahid adalah pemikir bangsa yang terpenting setelah Soekarno. ”Ia menjadi anggota BPUPKI dalam usia 31 tahun,” katanya.

Sikap kenegarawanan Wahid terlihat setelah tanggal 18 Agustus 1945 ia tidak lagi mengungkit tujuh kata yang dihapuskan dalam Piagam Jakarta. Bahwa Wahid merupakan salah seorang tokoh Islam yang merumuskan Piagam Jakarta, dan kemudian juga mengusulkan syarat Presiden Indonesia haruslah orang Islam, merupakan salah satu fakta sejarah.

Akan tetapi, sikap kenegarawanan Wahid menerima kompromi dalam perdebatan soal dimasukkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, menjadi penanda penting bahwa warisan tokoh ini terhadap Indonesia sebagai negara bangsa. ”Wahid meninggalkan jejak besar bagi republik ini dengan bersedia menyatakan kalau konsensus sudah diterima semua pihak, maka harus diterima dengan lapang dada. Bagi Wahid, Indonesia bisa menjadi bangsa yang religius tanpa memaksakan satu agama pun menjadi dasar negara,” kata Yudi.

Menurut Pendeta Nathan Setiabudi, sikap Wahid yang mau berkompromi demi tetap bersatunya semua golongan dalam Republik Indonesia justru menggambarkan pilihan kebangsaan yang diambil Wahid tak pernah mengecilkan religiositas Islam dalam bernegara.

Menurut KH Salahudin Wahid, salah seorang putra Wahid, sikap itu menunjukkan bahwa ayahandanya tahu membedakan mana hal yang bersifat mendesak dan mana hal yang bisa dimusyawarahkan lagi. ”Saat itu adalah sangat wajar kalau umat Islam dan tokoh-tokoh Islam bercita-cita mendirikan negara berdasarkan Islam karena kitab-kitab yang mereka baca menegaskan cita-cita seperti itu. Kalau tidak, malah aneh,” ujar Salahudin (Gus Sholah).

Namun, pada akhirnya perjalanan sejarah kemudian membuktikan, NU, organisasi yang ikut dibesarkan Wahid menjadi pelaku utama bagaimana sikap kompromi itu mendapatkan pembenarannya. Dalam istilah Gus Sholah, Indonesia tak perlu menjadi negara Islam untuk dapat memasukkan syariat Islam pada aturan hukum negara.

Indonesia berutang besar kepada tokoh seperti Wahid yang bisa dengan gamblang mengajarkan bahwa Islam dan kebangsaan bukanlah pangkal sengketa.

(KHAERUDIN)

Source: Kompas, 1 Mei 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Sebuah Mesjid (Taufiq Ismail)

Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis (Taufiq Ismail)

Kisah Seorang Ayah, Anak Dan Burung Gagak

Asal Usul Nama Hari (Versi Inggris)

Musim Rindu