Kisah Seorang Anak


Ada seorang anak, saat dia masih dalam kandungan, Ayah tercintanya pergi selama-lamanya. Yatimlah dia. Aduh, bagaimana beratnya perasaan Ibunya, sedang kepayahan hamil, suami meninggal. Dan bukan itu saja, suaminya meninggal di kota lain saat melakukan perjalanan perdagangan. Jaman itu, orang2 bergerak dari satu tempat ke tempat lain hanya mengandalkan kaki, kuda dan hewan ternak lainnya. Jadi jarak ratusan kilometer, harus ditempuh hitungan hari bahkan minggu. Maka sang suami dimakamkan di kota lain itu, jauh dari orang2 yang dicintainya. Tidak sempat menatap wajah untuk terakhir kalinya, tidak sempat menyentuh pusara merahnya.

Beberapa bulan berlalu, lahirlah si kecil yatim ini. Betapa bahagianya Ibunya. Tidak terbilang rasa bahagia itu meski dengan segala keterbatasan yang ada, meski dengan segala kesusahan. Dibesarkannyalah anaknya dengan kasih sayang, hingga usia enam tahun, saat si kecil sudah bisa diajak berpergian, diajaklah si kecil ke kota lain tersebut, melihat pusara Ayahnya. Seseorang yang tidak pernah dilihatnya. Jaman itu, tidak ada kamera, tidak ada foto. Penting sekali mengajak anaknya yang enam tahun melihat pusara Ayahnya.

Usai menjenguk pusara Ayahnya, Ibu dan anak kecil ini kembali ke kota mereka. Tapi takdir berkata lain, Ibunya jatuh sakit saat dalam perjalanan. Itu sungguh perjalanan jauh, melelahkan, melintasi medan berat dan bisa membuat orang jatuh sakit. Ibunya yang jatuh sakit ternyata meninggal. Aduh, bagaimanalah ini? Si kecil yang baru berusia enam tahun menjadi yatim piatu. Tidak punya Ayah, tidak punya Ibu, dia terpaksa sendirian pulang ke kota kelahirannya. Meninggalkan pusara Ibunya yang masih hangat, persis saat dia barusaja diajak melihat pusara Ayahnya. Lihatlah, dia menumpang rombongan lain untuk pulang.

Malang nian nasib anak kecil ini, bukan? Dia akhirnya dibesarkan oleh kakeknya. Dia harus bekerja keras sedari kecil. Menjadi penggembala di padang rumput meranggas, dengan matahari terik menyiram sejauh mata memandang. Tapi sungguh, apakah memang malang nasibnya? Yatim piatu? Menyaksikan kepergian Ibunya? Tidak pernah mengenal Ayahnya? Apakah sungguh malang?

Tidak. Ukuran malang dan tidak versi manusia sungguh berbeda dengan versi langit. Maka, jika kalian tidak paham juga, apa beda versi kemalangan ini, silahkan baca ulang kisah ini dari awal. Baca dari paragraf pertama, dari kalimat pertama, tapi sekarang ganti anak kecil itu dengan sebuah nama dari seseorang yang amat mulia, nama seseorang yang bahkan saat sy mengetikkan cerita ini, membuat berkaca-kaca kelopak mata, duhai yang amat kami rindukan, itulah kisahmu ya Rasul Allah, Nabi Muhammad SAW.. Kisah seorang anak yatim piatu.

Ijinkan kami kelak bisa menatapmu, ya Rasul Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Sebuah Mesjid (Taufiq Ismail)

Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis (Taufiq Ismail)

Kisah Seorang Ayah, Anak Dan Burung Gagak

Asal Usul Nama Hari (Versi Inggris)

Asal Kata Minggu Dan Ahad