Kontroversi Dalam Kartini


Kontroversi Kartini

Di blog ini sebenarnya sudah ada tiga catatan tentang Kartini. Yakni 
Kartini Pejuang Kaum PribumiPemikiran Kartini, dan terakhir Meragukan Surat-Surat Kartini. Catatan tersebut saya posting pada bulan april 2011 lalu.

Catatan sebelumnya dan kali ini sama sekali tidak bermaksud mengecilkan jasa-jasa seorang R.A. Kartini yang turut membangkitkan semangat kaum wanita Indonesia untuk maju. Juga tidak merendahkan penghargaan gelar pahlawan kepada beliau oleh pemerintah. Tapi hanya ingin menyadarkan kita bahwa tidak sepenuhnya sejarah itu mutlak benar, dan apa-apa yang kita yakini kebenarannya saat ini bisa saja sebuah kekeliruan yang harus dikoreksi.

Ibarat adagium yang diciptakan oleh para penyanyi Seurieus, Pahlawan juga Manusia. Sosok Kartini tak luput dari sisi kontroversial yang dimunculkan oleh pihak2 yang mempertanyakan keotentikan surat-surat Kartini vis a vis orisinalitas pemikirannya.

Apakah betul RA Kartini itu mampu mengucurkan pikiran2 avant garde (melampaui zaman nya) saat feodalisme masih mencengkeram kuat dalam struktur sosial Jawa, sementara pendidikan bagi kaum perempuan saat itu sangat langka dan kalaupun ada, terbatas pada pelajaran keterampilan untuk menopang karir rumahtangga nya.

Walaupun pada kenyataannya bahwa RA Kartini yang hidup dalam lingkungan ningrat Jawa, mampu memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan Belanda dan melahap literatur-literatur penting hingga umur 12 tahun.

Dengan kemampuan bahasa Belanda yang bagus, Kartini belajar banyak hal dari “Barat”: buku-buku sastra dan majalah dibacanya untuk memberikan diskursus mengenai arti modernisme, feminisme dan kebebasan berpikir.

Kesempatan untuk belajar di negeri Belanda diperolehnya ketika itu dengan adanya tawaran beasiswa dari pemerintah Kerajaan Belanda, namun budaya aristokrat Jawa juga yang membuatnya tak kuasa melawan arus.

Beliau kemudian menjalani ritual perempuan Jawa, dipingit dan dinikahkan. 
Beasiswa itu kemudian, atas permintaan Kartini, dialihkan ke seorang pemuda cerdas asal Bukittinggi, kelak dikenal sebagai KH Agus Salim.

Berikut ini adalah beberapa kontroversi yang menjadi pertanyaan banyak kalangan akan sosok RA Kartini;

Kontroversi-1. Keaslian pemikiran RA Kartini dalam surat-suratnya diragukan. 
Ada dugaan bahwa J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda saat itu, melakukan editing atau merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. 

Kita hanya disuguhi tulisan-tulisan yang bersumber dari buku yang diterbitkan oleh Abendanon semata.

Kontroversi-2. RA Kartini dianggap tidak konsiten dalam memperjuangkan pemikiran akan nasib perempuan Jawa. 
Dalam banyak tulisannya beliau selalu mempertanyakan tradisi Jawa (dan agama Islam) yang dianggap menghambat kemajuan perempuan seperti tak dibolehkan bersekolah, dipingit ketika mulai baligh, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, menjadi korban poligami. 

Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula. Namun demikian, bertolak belakang dengan pemikirannya, RA Kartini rupanya menerima untuk dinikahkan (bahkan dipoligami) dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903, pada usia 24 tahun.

Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.

Kontroversi-3. RA Kartini dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan. Walaupun demikian ide-idenya dianggap menyeluruh secara nasional karena mengandung sesuatu yang universal.

Kontroversi-4. Tidak jelas persinggungan RA Kartini dengan perlawanan melawan penjajahan Belanda seperti umumnya pahlawan yang kita kenal. Tak pernah terlihat dalam tulisan dan pemikirannya adanya keinginan RA Kartini untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda saat itu, apalagi membopong senjata sebagaimana Pahlawan Wanita lainnya seperti; Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Emmy Saelan atau Christina Martha Tiahahu.

Kontroversi-5. Dari sudut pandang sejarah, pemikiran RA Kartini dalam emansipasi wanita lebih bergaung daripada tokoh wanita lainnya asal Sunda, Raden Dewi Sartika, walaupun langkah gerak Dewi Sartika justru lebih progressif. RA Kartini lebih terkenal dengan pemikiran-pemikiran nya, sedang Dewi Sartika tak hanya giat berpikir, tapi juga mengimplementasikan pemikirannya ke gerak nyata dalam masyarakat dengan mendirikan sekolah khusus putri, Sekolah Kaoetamaan Istri pada tahun 1902. So, siapa sebenarnya yang lebih patut untuk dihargai, RA Kartini atau Dewi Sartika? Hanya terbatas pemikiran atau gerak nyata?

Kontroversi-6. Penetapan tanggal kelahiran RA Kartini 21 April sebagai hari besar juga diperdebatkan karena terkesan terlalu melebih-lebihkan sosok beliau, sementara masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Mereka mengusulkan untuk merayakan Hari Perempuan secara umum pada tanggal 22 Desember.

Komentar

  1. Kartini, aku tidak tahu mengapa engkau mau
    menikah dengan seorang laki-laki yang sudah
    beristri tiga? Apakah ini adalah bentuk
    kepatuhanmu terhadap orang tua agar orang
    tua mu tidak malu? Ataukah engkau sudah
    tidak sanggup untuk melawan budaya patriarki
    dan penafsiran orang tentang Islam?
    “Saya berkehendak bebas, supaya boleh dapat
    berdiri sendiri, jangan bergantung kepada
    orang lain, supaya jangan… jangan sekali-kali
    dipaksa kawin. Tetapi kawin, mesti kawin,
    mesti, mesti! Tiada bersuami adalah dosa yang
    sebesar-besar dosa yang mungkin diperbuat
    seorang perempuan Islam, malu yang sebesar-
    besar malu yang mungkin tercoreng di muka
    seorang anak gadis Bumiputra dan
    keluarganya.” (25 Mei 1899, Nona
    Zeehanderlaar)
    Namun, sungguh aku sangat kagum ketika
    membaca sepenggal tulisannmu untuk Nona
    Zeehandelaar :
    “…. Hukum Islam mengizinkan laki-laki
    menaruh empat orang perempuan. Meskipun
    seribu kali orang mengatakan, beristri empat
    itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi
    selama-lamanya aku mengatakan itu dosa.
    Segala perbuatan yang menyakitkan sesamanya,
    dosalah pada mataku. Betapakah azab sengsara
    yang harus diderita seorang perempuan, bila
    lakinya pulang ke rumah membwa perempuan
    lain, dan perempuan itu harus diakuinya
    perempuan lakinya yang sah, harus diterima
    jadi saingannya? Boleh disiksanya, disakitinya
    perempuan itu selama hidupnya sepuas
    hatinya, tetapi bila ia tiada hendak
    membebaskan perempuan itu kembali,
    bolehlah perempuan itu menangis setinggi
    langit meminta hak, tiada juga akan dapat.” (6
    November 1899)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencari Sebuah Mesjid (Taufiq Ismail)

Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis (Taufiq Ismail)

Kisah Seorang Ayah, Anak Dan Burung Gagak

Asal Usul Nama Hari (Versi Inggris)

Abu Nawas Mengerjakan Pekerjaan Yang Mustahil